Rabu, 29 Juni 2011

Litera, Litera.

Atheis, Sebuah Deskripsi Zaman
 oleh: Diandra Komang
 
Kereta api merayap-rayap, seakan-akan segan ditumpangi orang-orang atheis seperti kami.
Dan ketika jalannya makin naik, maka seolah-olah keluarlah keringatnya, mendesah-desah mengeluarkan uap dan asap, seakan akan berat nian dadanya turun-naik memeras segenap tenaganya untuk maju terus. Aku duduk merunduk di sudut gerbong. Sedang Anwar tak tentu lagi duduknya. Berpindah-pindah saja seperti lalat. Kebetulan sekali kereta itu agak lowong. Tiga hari kami berpakansi di Panyeredan. Sekarang hendak pulang kembali ke Bandung.
Aku terus merunduk saja. Hilang riang.
Achdiyat K. Mihardja, Atheis (1947)

Siapa tak kenal baris fenomenal ini? Setidaknya, anak-anak SMP yang masih menggunakan buku diktat Bahasa Indonesia ukuran besar yang dicetak Balai Pustaka, mestinya pernah mengenal kalimat-kalimat ini.

Atheis, sebuah novel A.K. Mihadja, adalah suatu peninggalan zaman. Berkisah mengenai hiruk-pikuk idealisme politik dan sosial anak muda Indonesia tahun 40′an, yang dikenal sebagai era Romantik dengan rokok klobot dan sepeda Fongers, Atheis memberikan sebuah landskap lengkap bagaimana kehidupan seorang pemuda bisa menjadi berwarna-warni setelah bertemu kembali dengan sahabat lamanya.

Secara garis besar, Atheis bercerita tentang naik turun kehidupan seorang Hasan, pegawai kantor pajak yang pada awalnya hidup begitu letterlijk dan membosankan (mungkin hampir sama dengan A Dull Life of A Stockbroker-nya Monty Python) akan tetapi kemudian berubah menjadi begitu berwarna dan bergelombang setelah Rusli, sosok partner-in-crime mas kecilnya di desa muncul kembali dengan gaya hidup yang menawan hati. Secara umum, mungkin hampir sama dengan Matthew, seorang pertukaran pelajar alim yang bertemu saudara kembar Isabel dan Theo yang aneh dalam filmnya Bertolucci, The Dreamers

Melalui Rusli, Hasan yang (dari namanya saja sudah) alim kemudian mengenali dunia 'luar' yang lebih gemerlap dan hebat, baik jiwa dan raga. Tidak hanya Rusli hidup dalam dunia yang secara visual lebih bebas dan meriah dari keberlurusan yang dialami Hasan, akan tetapi kehidupan batin mereka juga tidak kalah njelimet dengan bergelimangnya Rusli dan teman-temannya dengan romantisme pemikiran-pemikiran pergerakan sosialisme Marx dan Engels. Dihantarkan oleh kehidupan raga yang menggodanya untuk lebih jauh masuk ke dunia Rusli, Hasan kemudian menghadapi keliaran terhebat dari dunia tersebut yaitu perdebatan mereka dengan esensi yang paling Hasan takuti, Tuhan itu sendiri. 

Novel ini tidak sesungguhnya juga bercerita tentang hal-hal lain di luar clash yang dialami Hasan dengan dunia baru mereka, akan tetapi juga bermain dalam kancah lain seperti romansa, dengan hadirnya tokoh Kartini yang menjadi obyek kasih Hasan. Akan tetapi, kemudian, romansa dalam novel ini menjadi semacam jembatan yang mendekatkan Hasan dalam perdebatan besar ini, yang justru membuatnya lebih manusiawi. Novel ini menjelajah berbagai tema sosial yang muncul dan berkembang dalam 'era peralihan' ketika pemikiran bertabrakan dengan kepercayaan, atau ketika desa bertabrakan dengan kota. Mihardja mencoba mendeskripsikan jarak dalam peralihan identitas masyarakat Indonesia ini melalui berbagai isu, meski salah satu penggambaran yang paling jelas muncul dalam adegan ketika Rusli dan Hasan pulang ke desa dan mencoba mematut-matut berbagai hal yang mereka temui dengan istilah-istilah yang mereka pelajari di kota. 

Sepentaran dengan novel-novel yang muncul pada sekian dekade yang berdekatan, Atheis seakan melanjutkan semangat para pendahulunya di Angkatan Balai Pustaka untuk mengembangkan tema clash of civilization, sebagai suatu bentuk kritisi perubahan kondisi sosial politik yang amat drastis yang mengiringi kehadiran era kemerdekaan Indonesia.

Hal yang cukup menarik dari novel ini adalah ketika Atheis mendeskripsikan bagaimana standar gaul anak muda zaman itu berlangsung. Novel ini, dengan premisnya yang berusaha menggambarkan kondisi sosial politik Indonesia dalam diri seseorang, memiliki sebuah kewajiban untuk menggambarkan bagaimana kehidupan sosial itu sendiri berlangsung. Dan Akhdiyat melakukannya dengan sangat baik. 

Deskripsinya menjadi menarik ketika kita memperbandingkannya dengan dunia modern. Ketika sekarang anak muda sedang seru-serunya sepeda fixie dan blackberry, pada zaman itu, anak muda bisa dibilang gaul ketika lancar berbicara politik perlawanan, revolusi, dan marxisme. Simak bagaimana kelakuan Anwar yang menurut kami sedikit banyak mereproduksi sosok penulis Chairil Anwar yang flamboyan, ekspresif, dan lantang, dalam sebuah adegan di satu restoran di Bandung waktu sore hari. Atau bagaimana Rusli dan Kartini memesan restoran Cina untuk makan malam mereka, serta kebingungan mereka dalam mendeskripsikan hubungan mereka berdua. Mihardja sangat kuat dalam menggambarkan lingkungan dan kehidupan anak muda progresif era 1940-an, beserta usaha-usaha mereka untuk ‘menjadi barat’. 

Banyak sekali sentuhan novel-novel Balai Pustaka sebelumnya dalam novel ini, yang membuat novel ini menjadi semacam perangkum sastra Indonesia era Revolusi. Salah satunya adalah tema Salah Asuhan yang muncul dalam diri Rusli, atmosfer Siti Nurbaya yang sedikit menggambarkan Rukmini dan kehidupan desa Panyeredan yang feodal, hingga Layar Terkembang yang mungkin bisa dilihat sebagai alternatif cara pandang terhadap Kartini yang ingin menjadi seseorang yang modern. Atheis menjadi salah satu novel Balai Pustaka yang paling kami sukai.

Atheis sendiri diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka, dan diterbitkan kembali pada tahun 2007 hingga sekarang, bersamaan dengan kembali bangkitnya minat terhadap sastra klasik semenjak film AADC? muncul.

Novel ini pernah difilmkan oleh Sjumandjaja pada tahun 1974, dengan Christine Hakim sebagai Rukmini, sayangnya kami belum sempat menonton film ini. Dengar-dengar respon terhadap film ini cukup baik pada zamannya. Ada yang tahu mencari film ini di mana?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar