Sabtu, 25 Juni 2011

Cerbung






Untuk menyemarakkan bacaan pemirsa sekalian, maka mulai edisi kali ini, Jurnal Penguntit akan menampilkan fitur cerita bersambung yang akan bersambung dalam tiap edisi Jurnal Penguntit. Untuk kali pertama ini, Jurnal Penguntit memilih sebuah karya Maura Sylvia seorang penulis muda berbakat, sebuah novelet yang sudah dikenal di berbagai negara dan dalam proses pembuatan serial TV-nya di sebuah televisi swasta terkemuka, yaitu novelet berjudul Namaku Fattah. Novelet yang terdiri atas 25 episode ini akan menjadi fitur Cerbung dalam 25 episode pertama Jurnal Penguntit. Selamat menikmati Cerbung ini, dan viva dunia cerbung Indonesia!
 
***

Namaku Fattah. 

Nama itu pemberian ibuku, berasal dari nama pejuang dari Kerajaan Demak ratusan tahun silam, Raden Patah. Kata orang, Fattah artinya adalah ‘kemenangan’, berasal dari bahasa Arab. Kalau memang itu artinya, berarti memang tidak jauh berbeda dengan kehidupanku. Kemenangan selalu berada di pihakku, ketika itu menyangkut rutinitas sehari-hariku. Oh iya, aku belum memperkenalkan diriku ya? Namaku Fattah, tapi aku lebih sering dikenal sebagai ‘Raja Tawuran’. Dan aku sangat bangga dengan sebutan itu.

Namaku bagaikan momok dalam dunia pertawuran pelajar di Yogyakarta. Aku terkenal sebagai sosok yang kejam dan tidak kenal ampun dalam setiap aksi tawuran. Tentu saja, karena sejak kecil aku telah menjadi juara karate junior se-Pulau Jawa. Tak ada yang bisa bertahan hidup-hidup setelah menjalani pertarungan denganku. Yah, minimal retak tulang atau pendarahan dalam, itulah yang biasa kuoleh-olehkan pada lawan-lawanku. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah memakai senjata apapun dalam pertarungan. Aku selalu menghadapi lawan-lawanku dengan tangan kosong. Karena aku punya banyak prinsip bagus tentang kelahiran, di mana salah satunya  manusia bertahan hidup dengan apapun yang mereka bawa ketika lahir. Jadi, aku tidak pernah bertumpu pada senjata apapun. Karena hal inilah, maka lawan-lawanku menjadi segan padaku. Ketika mereka tahu akan menghadapi gerombolanku, berarti mereka siap kalah.

Gerombolanku memiliki sebutan “Hoodies” yang beranggotakan anak-anak SMA 1945 Yogyakarta, SMA yang merupakan ‘tempat buangan’, satu-satunya sekolah di Yogyakarta yang mau menerima anak-anak dengan NEM rendah, anak-anak yang tidak lulus ujian, dan anak-anak yang tidak punya uang untuk membayar sekolah. Sekolah kami adalah sekolah yang murah meriah. Kami lahir karena keberadaan sekolah kami yang selalu dilecehkan oleh anak-anak sekolah lainnya. Jujur, sebenarnya apa yang kami lakukan hanyalah untuk membuat nama SMA 1945 disegani, setidaknya dalam hal tawuran. Tapi kami punya prinsip untuk selalu membela yang lemah, kaum yang terzolimi. Dan kami tidak mencari untung materi apa-apa dengan kelompok kami ini. 

Tawuran, dunia kami, adalah suatu hal yang jamak muncul dalam kehidupan ber-SMA di Indonesia, termasuk di Yogyakarta. Memang tidak semua, tetapi kebanyakan sekolah di sini memiliki kelompok-kelompok tawuran di tiap-tiap sekolah, dan mereka memiliki musuh-musuh bebuyutan sendiri-sendiri. Seperti kelompok ‘SKS’ dari SMA 14 Yogyakarta yang selalu bermusuhan dengan ‘Canon’ dari SMA 23 Yogyakarta, dan kelompok ‘Bajoel’ dari SMA Penandur yang berada di wilayah pojok timur Yogya yang punya sejarah panjang dengan kelompok ‘The Bandits’ dari SMA 56 Yogyakarta yang berada di wilayah pojok barat Yogya. Masing-masing seakan punya ‘pasangan’ sendiri. Yang paling hebat adalah ketika terjadi aliansi dalam kelompok-kelompok ini dan setiap kelompok mengerahkan siswa satu sekolah. Yang kemudian terjadi adalah peperangan pelajar satu Yogyakarta, yang dikenal sebagai Tawur Massal.

Kalau sudah begini, seharian itu angkutan umum akan mogok kerja dan pedagang-pedagang akan tutup warung. Yogyakarta, terutama area-area yang potensial menjadi tempat tawuran, akan sunyi senyap. Untungnya, kondisi ini terjadi sangat jarang. Aku sendiri baru mengalaminya sekali saja, yaitu ketika aku baru saja diterima masuk di SMA 1945, yaitu tahun lalu. Pada waktu itu sekitar sepuluh sekolah beraliansi melawan lima belas sekolah dengan jumlah siswa yang terlibat hingga ratusan-bahkan ribuan orang. Kerusakan pun bisa dibilang parah, yaitu beberapa siswa meninggal, puluhan cacat permanen, dan tahun itu menjadi tahun tertinggi jumlah siswa yang dikeluarkan dari sekolah. Puluhan kendaraan pribadi hancur serta tiga buah bis kota hangus terbakar. Waktu itu benar-benar mencekam bahkan buatku, yang dijuluki Raja Tawuran. Oh iya, aku mulai mendapat julukan itu dalam perang tersebut.

Perang tersebut meninggalkan bekas yang sangat mendalam bagi dunia pendidikan Yogyakarta. Pemerintah memutuskan untuk membuat kebijakan progresif dalam menghadapi kasus perang pelajar ini. Kebijakan tersebut adalah membuat perlakuan spesial bagi para pelajar yang getol terlibat tawuran. Sekolah-sekolah melakukan pengawasan ketat terhadap siswa-siswanya, dengan hukuman berat untuk setiap anak yang dicurigai terlibat dalam tawuran. Hukuman yang paling berat, adalah hukuman publik yang dikenal sebagai ‘Ban Neraka’. Ban Neraka adalah ban lengan berwarna merah yang dipasangkan menutupi nama sekolah di lengan sebelah kanan seragam anak-anak yang dianggap sebagai ‘penjahat kelas tinggi’.

Dengan ban ini, maka seorang anak akan mengalami hukuman publik, dijauhi masyarakat, dipandang sebagai sumber kekacauan. Diharapkan melalui adanya Ban ini, maka perilaku anak tersebut akan berubah seiring dengan hukuman kolektif dari masyarakat. Inilah yang disebut oleh Pak Samuel Notokusumo, Kapolres Yogyakarta, sebagai ‘bentuk sebenarnya dari sebuah lembaga pemasyarakatan’. Ketika anak tersebut tetap menggunakan ban merah tersebut selama setahun, maka anak itu akan dikeluarkan dari sekolah tersebut. Biasanya kemudian akan masuk sekolah anak nakal milik kepolisian di Magelang untuk dapat ‘pengajaran’ yang lebih ‘dalam’.

Kini, peraturan tersebut telah berjalan selama setahun dan kondisi di Yogyakarta telah kembali ‘damai’. Tawuran sangat jarang terjadi, dan polisi kali ini melakukan perlakuan yang sangat keras terhadap setiap pelaku tawuran. Dan saat ini, setiap kamu melihat seorang pelajar menggunakan ban merah di lengan kanannya, maka kamu akan tahu dia adalah seorang ‘tersangka’ tawuran, dan sedang di’masyarakat’kan.

Dan aku adalah salah satu diantara mereka yang hampir setahun ini memakai ban merah tersebut. Dan inilah ceritaku.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar