Kamis, 30 Juni 2011

Oh Oh Siapa Dia?

Henri Cartier-Bresson
oleh Mahendra Ramdani
Perkenalan pertama dengan Henri Cartier-Bresson (HCB) berawal dari sebuah siang yang membosankan di perpustakaan LIP, beberapa tahun lalu. Sambil menunggu waktu les, penulis iseng-iseng melihat-lihat beberapa dokumentasi Paris pada tahun 1940-50′an. Dan sejenak kemudian, siang itu berubah menjadi satu siang paling menyenangkan, setelah melihat snapshot yang dipajang di atas tulisan ini. Karya HCB. 

Banyak sekali cara orang mengenal HCB. Street photographer, ayah dari jurnalisme fotografi, ikon Leica, penemu Real-life Reportage, penemu istilah decisive moment...

HCB pada awal masa mudanya sebenarnya lebih condong pada seni lukis, terutama aliran surealis yang pada masanya sedang berkembang pesat di Paris. Perkenalannya dengan medium fotografi dimulai ketika dia melihat foto seorang fotografer Hungaria, Martin Munkacsi tentang tiga orang anak kulit hitam telanjang yang sedang berlari menuju danau dilihat dari belakang, yang berjudul Three Boys at Lake Tanganyika. Komposisi foto tersebut yang lebih mirip lukisan surealis bagi HCB kemudian membuka matanya terhadap kesempatan-kesempatan baru untuk mengeksplorasi fotografi melalui pendekatan seni visual. 

Bagi penulis, HCB memperlihatkan bagaimana fotografi tidak selalu hal yang ribet, formal, susah dipahami, banyak aturan, high profile,... Fotografi bisa begitu lepas, menyenangkan, personal, jujur, dan spontan. Fotografi sebagai sebuah kerendah-hatian. Mungkin ini sebuah ungkapan yang kurang hati-hati. HCB juga satu orang yang sangat rendah hati, dan salah seorang yang pionir dalam hal penguntitan. 

Untuk menghindari pengetahuan dan distraksi obyeknya yang seringkali tidak sadar kalo sedang difoto, HCB selalu menutupi kameranya dengan lakban hitam, sebagai satu usaha kamuflase. Selain itu, HCB juga sangat jarang difoto. Tentu saja, hal ini mempermudahnya untuk bermain fotosnapping, karena tidak banyak yang mengenalnya sebagai the mighty HCB, akan tetapi dengan kamera Leica mungil di tangan, dia lebih mirip turis bule di mata obyek fotonya. 

Alangkah senangnya jadi HCB..

Rabu, 29 Juni 2011

Litera, Litera.

Atheis, Sebuah Deskripsi Zaman
 oleh: Diandra Komang
 
Kereta api merayap-rayap, seakan-akan segan ditumpangi orang-orang atheis seperti kami.
Dan ketika jalannya makin naik, maka seolah-olah keluarlah keringatnya, mendesah-desah mengeluarkan uap dan asap, seakan akan berat nian dadanya turun-naik memeras segenap tenaganya untuk maju terus. Aku duduk merunduk di sudut gerbong. Sedang Anwar tak tentu lagi duduknya. Berpindah-pindah saja seperti lalat. Kebetulan sekali kereta itu agak lowong. Tiga hari kami berpakansi di Panyeredan. Sekarang hendak pulang kembali ke Bandung.
Aku terus merunduk saja. Hilang riang.
Achdiyat K. Mihardja, Atheis (1947)

Siapa tak kenal baris fenomenal ini? Setidaknya, anak-anak SMP yang masih menggunakan buku diktat Bahasa Indonesia ukuran besar yang dicetak Balai Pustaka, mestinya pernah mengenal kalimat-kalimat ini.

Atheis, sebuah novel A.K. Mihadja, adalah suatu peninggalan zaman. Berkisah mengenai hiruk-pikuk idealisme politik dan sosial anak muda Indonesia tahun 40′an, yang dikenal sebagai era Romantik dengan rokok klobot dan sepeda Fongers, Atheis memberikan sebuah landskap lengkap bagaimana kehidupan seorang pemuda bisa menjadi berwarna-warni setelah bertemu kembali dengan sahabat lamanya.

Secara garis besar, Atheis bercerita tentang naik turun kehidupan seorang Hasan, pegawai kantor pajak yang pada awalnya hidup begitu letterlijk dan membosankan (mungkin hampir sama dengan A Dull Life of A Stockbroker-nya Monty Python) akan tetapi kemudian berubah menjadi begitu berwarna dan bergelombang setelah Rusli, sosok partner-in-crime mas kecilnya di desa muncul kembali dengan gaya hidup yang menawan hati. Secara umum, mungkin hampir sama dengan Matthew, seorang pertukaran pelajar alim yang bertemu saudara kembar Isabel dan Theo yang aneh dalam filmnya Bertolucci, The Dreamers

Melalui Rusli, Hasan yang (dari namanya saja sudah) alim kemudian mengenali dunia 'luar' yang lebih gemerlap dan hebat, baik jiwa dan raga. Tidak hanya Rusli hidup dalam dunia yang secara visual lebih bebas dan meriah dari keberlurusan yang dialami Hasan, akan tetapi kehidupan batin mereka juga tidak kalah njelimet dengan bergelimangnya Rusli dan teman-temannya dengan romantisme pemikiran-pemikiran pergerakan sosialisme Marx dan Engels. Dihantarkan oleh kehidupan raga yang menggodanya untuk lebih jauh masuk ke dunia Rusli, Hasan kemudian menghadapi keliaran terhebat dari dunia tersebut yaitu perdebatan mereka dengan esensi yang paling Hasan takuti, Tuhan itu sendiri. 

Novel ini tidak sesungguhnya juga bercerita tentang hal-hal lain di luar clash yang dialami Hasan dengan dunia baru mereka, akan tetapi juga bermain dalam kancah lain seperti romansa, dengan hadirnya tokoh Kartini yang menjadi obyek kasih Hasan. Akan tetapi, kemudian, romansa dalam novel ini menjadi semacam jembatan yang mendekatkan Hasan dalam perdebatan besar ini, yang justru membuatnya lebih manusiawi. Novel ini menjelajah berbagai tema sosial yang muncul dan berkembang dalam 'era peralihan' ketika pemikiran bertabrakan dengan kepercayaan, atau ketika desa bertabrakan dengan kota. Mihardja mencoba mendeskripsikan jarak dalam peralihan identitas masyarakat Indonesia ini melalui berbagai isu, meski salah satu penggambaran yang paling jelas muncul dalam adegan ketika Rusli dan Hasan pulang ke desa dan mencoba mematut-matut berbagai hal yang mereka temui dengan istilah-istilah yang mereka pelajari di kota. 

Sepentaran dengan novel-novel yang muncul pada sekian dekade yang berdekatan, Atheis seakan melanjutkan semangat para pendahulunya di Angkatan Balai Pustaka untuk mengembangkan tema clash of civilization, sebagai suatu bentuk kritisi perubahan kondisi sosial politik yang amat drastis yang mengiringi kehadiran era kemerdekaan Indonesia.

Hal yang cukup menarik dari novel ini adalah ketika Atheis mendeskripsikan bagaimana standar gaul anak muda zaman itu berlangsung. Novel ini, dengan premisnya yang berusaha menggambarkan kondisi sosial politik Indonesia dalam diri seseorang, memiliki sebuah kewajiban untuk menggambarkan bagaimana kehidupan sosial itu sendiri berlangsung. Dan Akhdiyat melakukannya dengan sangat baik. 

Deskripsinya menjadi menarik ketika kita memperbandingkannya dengan dunia modern. Ketika sekarang anak muda sedang seru-serunya sepeda fixie dan blackberry, pada zaman itu, anak muda bisa dibilang gaul ketika lancar berbicara politik perlawanan, revolusi, dan marxisme. Simak bagaimana kelakuan Anwar yang menurut kami sedikit banyak mereproduksi sosok penulis Chairil Anwar yang flamboyan, ekspresif, dan lantang, dalam sebuah adegan di satu restoran di Bandung waktu sore hari. Atau bagaimana Rusli dan Kartini memesan restoran Cina untuk makan malam mereka, serta kebingungan mereka dalam mendeskripsikan hubungan mereka berdua. Mihardja sangat kuat dalam menggambarkan lingkungan dan kehidupan anak muda progresif era 1940-an, beserta usaha-usaha mereka untuk ‘menjadi barat’. 

Banyak sekali sentuhan novel-novel Balai Pustaka sebelumnya dalam novel ini, yang membuat novel ini menjadi semacam perangkum sastra Indonesia era Revolusi. Salah satunya adalah tema Salah Asuhan yang muncul dalam diri Rusli, atmosfer Siti Nurbaya yang sedikit menggambarkan Rukmini dan kehidupan desa Panyeredan yang feodal, hingga Layar Terkembang yang mungkin bisa dilihat sebagai alternatif cara pandang terhadap Kartini yang ingin menjadi seseorang yang modern. Atheis menjadi salah satu novel Balai Pustaka yang paling kami sukai.

Atheis sendiri diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka, dan diterbitkan kembali pada tahun 2007 hingga sekarang, bersamaan dengan kembali bangkitnya minat terhadap sastra klasik semenjak film AADC? muncul.

Novel ini pernah difilmkan oleh Sjumandjaja pada tahun 1974, dengan Christine Hakim sebagai Rukmini, sayangnya kami belum sempat menonton film ini. Dengar-dengar respon terhadap film ini cukup baik pada zamannya. Ada yang tahu mencari film ini di mana?

Minggu, 26 Juni 2011

Curhat Psikologi

diasuh oleh Nanu Ekarana M.Psc


Mulai edisi ini, Jurnal Penguntit memberikan kesempatan bagi pembaca untuk mengkonsultasikan permasalahan sehari-hari anda untuk dibahas melalui perspektif psikologi. Kolom Psikologi ini akan diasuh oleh Nanu Ekarana M.Psc, yang kondang dikenal sebagai Kak Nanu, psikolog yang merupakan Asia's Best Motivator 2011, dan secara reguler mengisi acara Curhat Bareng Kak Nanu, yang diputar setiap hari di sebuah TV kabel bertaraf internasional. Kami harap kolom ini akan membantu untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan yang pembaca alami. Silahkan kirim permasalahan anda ke jurnalpenguntit@gmail.com dengan jumlah minimal 100 kata.

***

PEMUDA DAN HASRAT INGIN MENIKAH 

Kak pengasuh, saya adalah seorang jejaka 23 tahun, baru saja lulus kuliah. Sekarang saya bekerja di sebuah perusahaan pertambangan yang bonafide dan pendapatan yang lumayan untuk ukuran fresh graduate.

Setiap pagi, setiap siang, setiap sore, setiap malam, kapanpun, hampir kapanpun, saya selalu merasakan adanya hasrat yang kuat dan dorongan yang hebat untuk menikah. Perasaan ini hampir tidak tertahankan lagi. Sejak bangun tidur, ketika berangkat kerja, ketika makan siang. Ketika saya mengobrol dengan kolega kerja saya, seringkali hal yang saya obrolkan terlebih dulu dengan mereka adalah soal pernikahan. Bahkan saya juga sering berbicara soal urusan pernikahan dengan orang-orang yang tidak saya kenal di manapun saya jumpai. Terkadang dengan penjual loket kereta, terkadang dengan satpam, terkadang dengan adik-adik angkatan di kampus.

Sebenarnya saya sudah memiliki pacar, teman sekampus. Dia juga lulus berbarengan dengan diri saya. Hubungan saya dan pacar saya sebenarnya sudah sangat dekat, dan kami sama-sama sudah mapan dan bekerja. Di sisi lain, ibu saya sudah seringkali menanyakan kapan saya segera menikah. Kak pengasuh, apa yang harus saya lakukan untuk menghilangkan hasrat dan perasaan ingin menikah yang terasa tiada henti tersebut?

Nanda, Jogja 

Dik Nanda yang budiman, Kakak sungguh memahami kesulitan yang adik hadapi saat ini. Memang, terkadang perasaan tersebut amat mengganggu kehidupan sehari-hari, tapi apa boleh buat, perasaan tersebut adalah hal yang alamiah terjadi pada pemuda seumuran adik.

Kondisi yang adik alami merupakan sebuah kelainan kejiwaan yang dialami setiap satu dari sepuluh ribu pemuda seumuran adik. Kelainan ini diberi nama  Peyronie's disease. Dalam kelainan ini, penderita akan merasakan dorongan yang amat kuat untuk menikah.

Meski demikian, Dik Nanda jangan cemas dulu, karena Kakak punya beberapa solusi yang bisa dicoba untuk mengatasi kelainan kejiwaan ini. Pertama, coba adik konsultasikan dulu permasalahan adik ini dengan psikolog di kota adik. Dengan demikian, psikolog tersebut akan mampu membantu adik dalam menyelesaikan permasalahan adik tersebut. 

Selain itu, Dik Nanda bisa mencoba semakin mendekatkan diri dengan Tuhan. Berdoa adalah salah satu terapi yang paling baik dalam menyembuhkan masalah kejiwaan. Jalan lain yang bisa adik lakukan adalah menjauhkan pikiran Dik Nanda dari hal-hal tersebut, dengan cara mencari kesibukan-kesibukan baru, seperti berolahraga, mengikuti kelompok teater, atau naik gunung. Untuk itu, Dik Nanda mungkin bisa memulai dari kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan minat Adik. Misalnya, apabila Dik Nanda suka makan, maka Dik Nanda bisa melakukan semacam wisata kuliner keliling Indonesia, atau mungkin dunia jika mampu. Dengan kegiatan semacam ini, diharapkan pikiran Dik Nanda tidak akan dipenuhi lagi dengan hal-hal demikian.

Baiklah, itu saja dulu saran dari Kakak, saya harap, saran Kakak dapat meringankan derita Adik dan membantu Adik dalam usaha menyelesaikan permasalahan adik tersebut. Selamat mencoba, dan percayalah bahwa Dik Nanda bisa sembuh jika ada keyakinan.

Sabtu, 25 Juni 2011

Cerbung






Untuk menyemarakkan bacaan pemirsa sekalian, maka mulai edisi kali ini, Jurnal Penguntit akan menampilkan fitur cerita bersambung yang akan bersambung dalam tiap edisi Jurnal Penguntit. Untuk kali pertama ini, Jurnal Penguntit memilih sebuah karya Maura Sylvia seorang penulis muda berbakat, sebuah novelet yang sudah dikenal di berbagai negara dan dalam proses pembuatan serial TV-nya di sebuah televisi swasta terkemuka, yaitu novelet berjudul Namaku Fattah. Novelet yang terdiri atas 25 episode ini akan menjadi fitur Cerbung dalam 25 episode pertama Jurnal Penguntit. Selamat menikmati Cerbung ini, dan viva dunia cerbung Indonesia!
 
***

Namaku Fattah. 

Nama itu pemberian ibuku, berasal dari nama pejuang dari Kerajaan Demak ratusan tahun silam, Raden Patah. Kata orang, Fattah artinya adalah ‘kemenangan’, berasal dari bahasa Arab. Kalau memang itu artinya, berarti memang tidak jauh berbeda dengan kehidupanku. Kemenangan selalu berada di pihakku, ketika itu menyangkut rutinitas sehari-hariku. Oh iya, aku belum memperkenalkan diriku ya? Namaku Fattah, tapi aku lebih sering dikenal sebagai ‘Raja Tawuran’. Dan aku sangat bangga dengan sebutan itu.

Namaku bagaikan momok dalam dunia pertawuran pelajar di Yogyakarta. Aku terkenal sebagai sosok yang kejam dan tidak kenal ampun dalam setiap aksi tawuran. Tentu saja, karena sejak kecil aku telah menjadi juara karate junior se-Pulau Jawa. Tak ada yang bisa bertahan hidup-hidup setelah menjalani pertarungan denganku. Yah, minimal retak tulang atau pendarahan dalam, itulah yang biasa kuoleh-olehkan pada lawan-lawanku. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah memakai senjata apapun dalam pertarungan. Aku selalu menghadapi lawan-lawanku dengan tangan kosong. Karena aku punya banyak prinsip bagus tentang kelahiran, di mana salah satunya  manusia bertahan hidup dengan apapun yang mereka bawa ketika lahir. Jadi, aku tidak pernah bertumpu pada senjata apapun. Karena hal inilah, maka lawan-lawanku menjadi segan padaku. Ketika mereka tahu akan menghadapi gerombolanku, berarti mereka siap kalah.

Gerombolanku memiliki sebutan “Hoodies” yang beranggotakan anak-anak SMA 1945 Yogyakarta, SMA yang merupakan ‘tempat buangan’, satu-satunya sekolah di Yogyakarta yang mau menerima anak-anak dengan NEM rendah, anak-anak yang tidak lulus ujian, dan anak-anak yang tidak punya uang untuk membayar sekolah. Sekolah kami adalah sekolah yang murah meriah. Kami lahir karena keberadaan sekolah kami yang selalu dilecehkan oleh anak-anak sekolah lainnya. Jujur, sebenarnya apa yang kami lakukan hanyalah untuk membuat nama SMA 1945 disegani, setidaknya dalam hal tawuran. Tapi kami punya prinsip untuk selalu membela yang lemah, kaum yang terzolimi. Dan kami tidak mencari untung materi apa-apa dengan kelompok kami ini. 

Tawuran, dunia kami, adalah suatu hal yang jamak muncul dalam kehidupan ber-SMA di Indonesia, termasuk di Yogyakarta. Memang tidak semua, tetapi kebanyakan sekolah di sini memiliki kelompok-kelompok tawuran di tiap-tiap sekolah, dan mereka memiliki musuh-musuh bebuyutan sendiri-sendiri. Seperti kelompok ‘SKS’ dari SMA 14 Yogyakarta yang selalu bermusuhan dengan ‘Canon’ dari SMA 23 Yogyakarta, dan kelompok ‘Bajoel’ dari SMA Penandur yang berada di wilayah pojok timur Yogya yang punya sejarah panjang dengan kelompok ‘The Bandits’ dari SMA 56 Yogyakarta yang berada di wilayah pojok barat Yogya. Masing-masing seakan punya ‘pasangan’ sendiri. Yang paling hebat adalah ketika terjadi aliansi dalam kelompok-kelompok ini dan setiap kelompok mengerahkan siswa satu sekolah. Yang kemudian terjadi adalah peperangan pelajar satu Yogyakarta, yang dikenal sebagai Tawur Massal.

Kalau sudah begini, seharian itu angkutan umum akan mogok kerja dan pedagang-pedagang akan tutup warung. Yogyakarta, terutama area-area yang potensial menjadi tempat tawuran, akan sunyi senyap. Untungnya, kondisi ini terjadi sangat jarang. Aku sendiri baru mengalaminya sekali saja, yaitu ketika aku baru saja diterima masuk di SMA 1945, yaitu tahun lalu. Pada waktu itu sekitar sepuluh sekolah beraliansi melawan lima belas sekolah dengan jumlah siswa yang terlibat hingga ratusan-bahkan ribuan orang. Kerusakan pun bisa dibilang parah, yaitu beberapa siswa meninggal, puluhan cacat permanen, dan tahun itu menjadi tahun tertinggi jumlah siswa yang dikeluarkan dari sekolah. Puluhan kendaraan pribadi hancur serta tiga buah bis kota hangus terbakar. Waktu itu benar-benar mencekam bahkan buatku, yang dijuluki Raja Tawuran. Oh iya, aku mulai mendapat julukan itu dalam perang tersebut.

Perang tersebut meninggalkan bekas yang sangat mendalam bagi dunia pendidikan Yogyakarta. Pemerintah memutuskan untuk membuat kebijakan progresif dalam menghadapi kasus perang pelajar ini. Kebijakan tersebut adalah membuat perlakuan spesial bagi para pelajar yang getol terlibat tawuran. Sekolah-sekolah melakukan pengawasan ketat terhadap siswa-siswanya, dengan hukuman berat untuk setiap anak yang dicurigai terlibat dalam tawuran. Hukuman yang paling berat, adalah hukuman publik yang dikenal sebagai ‘Ban Neraka’. Ban Neraka adalah ban lengan berwarna merah yang dipasangkan menutupi nama sekolah di lengan sebelah kanan seragam anak-anak yang dianggap sebagai ‘penjahat kelas tinggi’.

Dengan ban ini, maka seorang anak akan mengalami hukuman publik, dijauhi masyarakat, dipandang sebagai sumber kekacauan. Diharapkan melalui adanya Ban ini, maka perilaku anak tersebut akan berubah seiring dengan hukuman kolektif dari masyarakat. Inilah yang disebut oleh Pak Samuel Notokusumo, Kapolres Yogyakarta, sebagai ‘bentuk sebenarnya dari sebuah lembaga pemasyarakatan’. Ketika anak tersebut tetap menggunakan ban merah tersebut selama setahun, maka anak itu akan dikeluarkan dari sekolah tersebut. Biasanya kemudian akan masuk sekolah anak nakal milik kepolisian di Magelang untuk dapat ‘pengajaran’ yang lebih ‘dalam’.

Kini, peraturan tersebut telah berjalan selama setahun dan kondisi di Yogyakarta telah kembali ‘damai’. Tawuran sangat jarang terjadi, dan polisi kali ini melakukan perlakuan yang sangat keras terhadap setiap pelaku tawuran. Dan saat ini, setiap kamu melihat seorang pelajar menggunakan ban merah di lengan kanannya, maka kamu akan tahu dia adalah seorang ‘tersangka’ tawuran, dan sedang di’masyarakat’kan.

Dan aku adalah salah satu diantara mereka yang hampir setahun ini memakai ban merah tersebut. Dan inilah ceritaku.

***

Sneak Peek

 Pull The String dan Kereta Api
oleh: Mahendra Ramdani

Sutradara Nara Indra sedang memberikan pengarahan pada Danang, pemeran utama.


YOGYAKARTA - Akhir Juni ini, Pull The String (PTS) Film kembali memproduksi sebuah film pendek. Apa judulnya dan bagaimana ceritanya, masih dirahasiakan, akan tetapi dari pengambilan gambar di Stasiun Tugu yang diikuti Jurnal Penguntit, dapat diperkirakan bahwa kali ini mereka akan membuat kisah tentang kereta api. Apalagi, PTS Film menggandeng Shiro, seorang pakar perkereta-apian, sebagai konsultan dalam pembuatan film ini. Sedangkan pemeran utama film ini adalah Danang, seorang mahasiswa Fisipol UGM. Nara Indra, sutradara film ini menjelaskan bahwa film ini sebenarnya adalah proyek iseng-iseng berhadiah akhir tahun dari PTS Film sendiri. Nara menambahkan, bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara film ini dan tema kebosanan dalam bulanan ini sendiri.


Nara juga menjelaskan bahwa film ini akan menjadi semacam salam sampai jumpa PTS Film kepada khalayak luas. Setelah produksi ini, PTS Film berencana vakum untuk sementara waktu hingga beberapa bulan ke depan untuk memberikan kesempatan para personelnya untuk ber-solo karir mengejar impian mereka masing-masing. Akan tetapi, meski demikian, bagaimanapun juga, Nara memberikan spoiler bahwa PTS Film telah mempersiapkan satu produksi lagi setelah masa reses nanti. Apakah produksi ini akan kembali berhubungan dengan dwilogi Reverie-Bram the Stalker, ataukah benar-benar sebuah produksi baru? Mari kita nantikan bersama. Tapi, sebelumnya, mari menanti kemunculan proyek PTS Film tentang kereta api ini, yang rencananya akan dirilis paling cepat akhir Juni ini.

Dias Mexicanos Membuka Rekrutmen Terbuka 
oleh: Hario Prastowo


YOGYAKARTA - Sociedad Indonesia para America Latina (SIPAL), satu komunitas pemerhati Amerika Latin, saat ini sedang mempersiapkan pagelaran Dias Mexicanos (days of the Mexicans),  sebuah acara festival kebudayaan Meksiko yang akan diadakan pertengahan September ini bekerja sama dengan kedutaan besar Meksiko dan Rumah Budaya Tembi. Festival yang akan menggelar berbagai kebudayaan khas Meksiko ini sekarang sudah membuka open recruitment untuk teman-teman yang ingin berpartisipasi dalam acara ini. Jadi, buat yang tertarik, silahkan menghubungi 083867385303.Rekrutmen ini akan dibuka hingga tanggal 17 Juli.


Editor's Note

Merasa Bosan Hidup..
oleh: Diandra Komang


Selamat datang di bulanan Jurnal Penguntit, One Stop Stalker and Looter Snack. Dalam edisi perdana ini, kami akan mengangkat tema 'Kebosanan'. Kebosanan adalah satu pengalaman yang pastinya pernah dirasakan setiap manusia di dunia, akan tetapi masih sangat jarang penelitian ilmiah maupun diskursus-diskursus mengenai kebosanan ini. Konon, ada pepatah melayu yang mengatakan 'belum hidup seseorang hingga dia merasa bosan hidup'.

Dengan mengangkat kebosanan sebagai fokus perbincangan kita bulan ini, maka kami berharap mampu menggali sisi-sisi lain dari kebosanan itu sendiri. Apakah kebosanan itu sepenuhnya membosankan? Mari kita cari tahu bersama sebulan ini.

Sebagaimana normalnya bulanan-bulanan lain yang terbit perdana, bulanan Jurnal Penguntit, One Stop Stalker and Looter Snack, ingin mengucapkan mohon maaf apabila ada salah dalam kata maupun tindakan. Segala kesalahan asalnya dari setan dan segala kebaikan asalnya dari Tuhan. Edisi perdana ini tidak akan lekang dari salah dan cela, sehingga kritik dan saran baiklah kiranya apabila menjadi sumbangsih dari para pemirsa sekalian dalam rangka mengembangkan bulanan ini menjadi lebih baik dari edisi ke edisinya.

Ciao.

Editorial Team
Editor in Chief
Harford Wahyu

Editor
Diandra Komang

Contributors
Mahendra Ramdani
Hario Prastowo
Lolidya Sulistyaningrum
Mario Dzikrana
Ayu Marawis

Jurufoto & Layout
Rebecca Theodora

Contact Us
email : jurnalpenguntit@gmail.com
site : jurnalpenguntit.blogspot.com